Hambatan Bahasa dan Perbedaan Budaya: 2 Tantangan Utama bagi Pelajar Indonesia di Jepang
Tantangan Bahasa dan Budaya di Jepang: Panduan untuk Mahasiswa Indonesia
Bagi mahasiswa internasional dari Indonesia, hidup berdampingan dengan masyarakat Jepang menuntut pemahaman dan adaptasi terhadap dua tantangan utama: “hambatan bahasa” dan “perbedaan budaya”. Mengatasi kedua hal ini bukanlah hal yang mudah, dan sering kali kesempatan untuk berinteraksi menjadi terbatas karena kurangnya pemahaman satu sama lain.
Di sisi lain, mahasiswa dari Indonesia sering kali menghadapi kesulitan dalam memahami ekspresi bahasa Jepang yang kompleks dan aturan sosial yang unik. Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan bahasa dan budaya tersebut agar Anda bisa lebih siap dan percaya diri dalam memulai interaksi di Jepang.
1. Tantangan #1: Hambatan Bahasa (言葉の壁)

Hambatan bahasa adalah salah satu tantangan terbesar. Menurut Foreign Service Institute dari Departemen Luar Negeri AS, bahasa Jepang diklasifikasikan sebagai bahasa Kategori V, yaitu kategori tersulit untuk dipelajari oleh penutur asli bahasa Inggris, yang membutuhkan sekitar 2200 jam belajar. Ini menunjukkan betapa kompleksnya bahasa Jepang. Berikut adalah dua aspek yang paling menantang.
Tantangan Kanji (漢字)
Bagi pembelajar level pemula hingga menengah, kanji dengan bentuk yang mirip sering kali sangat membingungkan. Sebagai contoh, perhatikan tiga kanji berikut:「問」「門」「聞」. Ketiganya memiliki bentuk yang mirip dan cara baca On’yomi “mon”.
Namun, ketiganya harus digunakan dalam konteks yang sama sekali berbeda.「問」digunakan untuk “pertanyaan” (問題 – mondai),「門」untuk “gerbang” (門を開ける – mon o akeru), dan「聞」untuk “mendengar” (聞く – kiku). Memahami dan membedakan penggunaan detail seperti ini adalah tantangan besar bagi pemula.
Kompleksitas Bahasa Sopan (敬語 – Keigo)
Penggunaan Keigo adalah salah satu hal yang paling sulit. Berbeda dengan bahasa Indonesia atau Inggris di mana kesopanan bisa ditunjukkan dengan kata seperti “tolong” atau “please”, bahasa Jepang memiliki sistem tata bahasa yang sangat kompleks untuk menunjukkan rasa hormat, yang berubah tergantung pada siapa lawan bicara Anda dan siapa yang dibicarakan.
Banyak orang asing yang paling bingung dengan perbedaan antara Teineigo (丁寧語 – bentuk sopan umum), Sonkeigo (尊敬語 – bentuk untuk meninggikan lawan bicara), dan Kenjōgo (謙譲語 – bentuk untuk merendahkan diri sendiri). Sebagai contoh:
- Kata “makan” bisa menjadi「食べる」(taberu – bentuk biasa),「食べます」(tabemasu – bentuk sopan),「いただく」(itadaku – bentuk merendah), dan「召し上がる」(meshiagaru – bentuk meninggikan).
Memilih kata yang salah bisa berisiko dianggap tidak sopan, sehingga menimbulkan kecemasan bagi banyak pembelajar.
2. Tantangan #2: Perbedaan Budaya (文化の違い)

Selain bahasa, budaya sehari-hari, terutama budaya makan, bisa menjadi sumber culture shock.
Budaya Makan Sambil Berbunyi (Menyeruput Mi)
Di Jepang, makan mi seperti ramen, soba, atau udon dengan cara menyeruput hingga berbunyi “slurp” adalah hal yang wajar dan bahkan dianggap sebagai tanda bahwa makanan tersebut lezat. Namun, di banyak negara lain termasuk di sebagian besar budaya Barat, makan sambil berbunyi dianggap tidak sopan. Ini adalah salah satu perbedaan yang paling sering mengejutkan pendatang.
Tidak Adanya Urutan Makan yang Baku
Dalam masakan Barat seperti Perancis, ada urutan makan yang jelas (hidangan pembuka, utama, penutup). Sebaliknya, dalam hidangan tradisional Jepang (washoku), sering kali semua lauk disajikan sekaligus dalam piring-piring kecil, dan Anda bebas memakannya dalam urutan apapun yang Anda suka.
Budaya Piring-Piring Kecil (Kozara)
Berbeda dengan budaya makan “sharing” di piring besar seperti dalam masakan Tionghoa atau bahkan Indonesia, makanan Jepang umumnya disajikan dalam porsi individual di piring-piring kecil (小皿 – kozara). Setiap orang mendapatkan set makanannya sendiri.
Mengucapkan “Gochisousama” Setelah Makan
Di Jepang, setelah selesai makan, adalah kebiasaan untuk mengucapkan「ごちそうさまでした」(Gochisōsama deshita). Ini bukan hanya ucapan terima kasih kepada orang yang mentraktir, tetapi juga ungkapan rasa syukur terhadap makanan itu sendiri dan semua pihak yang terlibat dalam menyiapkannya. Budaya ini sering kali dikagumi oleh orang asing karena menunjukkan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam.
Kesimpulan
Hambatan bahasa dan perbedaan budaya adalah tantangan nyata dalam proses adaptasi di Jepang. Bahasa Jepang, dengan kompleksitas kanji dan keigo-nya, memang merupakan salah satu bahasa tersulit di dunia. Di sisi lain, perbedaan dalam kebiasaan sehari-hari seperti budaya makan juga membutuhkan waktu untuk dibiasakan. Namun, jangan berkecil hati! Memahami perbedaan ini adalah langkah pertama untuk mengatasinya. Dengan bersikap terbuka, terus belajar, dan tidak ragu untuk bertanya, Anda tidak hanya akan mengatasi tantangan ini, tetapi juga akan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dan kaya tentang Jepang, yang akan membuat kehidupan studi Anda menjadi pengalaman yang tak ternilai.